Tak Sekedar Retorika
"Hari
ini kita belajar untuk memahami arti retorika. Ia bukan hanya sekedar kata tapi
sebuah makna."
Manusia
benar banyak macamnya. Sikap dan sifat berjuta banyaknya. Berharap sama, tak
akan pernah. karena berbeda, sudah fitrahnya. Boleh, kita boleh jadi macam
manusia mana pun. Asal standar jelas dibolehkan syara. Maka mari kita belajar
dari para sahabat yang mulia.
Setiap
sahabat memiliki kekhasan dan kemuliaannya masing-masing. Adalah Abu Bakar yang
lembut nan bersahaja. Namun memiliki pendirian yang kokoh. Abu bakar menjadi
sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah. Ash-shidiq adalah
julukannya, sang terpercaya yang selalu membenarkan Sang pembawa kebenaran. Ada
pula Umar yang terkenal berwatak keras dan bertubuh tegap. Sang pemberani
yang setan pun takut dan lari menjauh darinya. Beliau menjadi pendukung
yang gigih dan penasihat terdekat Rasulullah.
Dua
sahabat mulia ini jelas memiliki sifat dan sikap yang jauh berbeda. Tapi mereka
selalu bersemai dalam garda terdepan perjuangan islam. Retorika dua
sahabat mulia ini jelaslah berbeda, jikalah Abu bakar dengan kelembutannya maka
umar dengan ketegasannya. Sesuatu inilah yang meyakinkan kita bahwa
lembut atau keras, sahaja atau perkasa, malu atau berani tak
masalah. Hal yang terpenting adalah standarnya apa, jelaslah hukum syara. Semua
diletakkan pada tempatnya.
Dalam
hal penyampaian sebagian dari kita ada yang terbiasa dengan lembut. Ada pula
yang terbiasa ceria dan penuh gaya. Atau ada juga yang terbiasa keras dan
mengebu-gebu bersemangat. Semua punya gaya dalam menyampaikan. Kita benar-benar
tak bisa memakasa merubah langsung seseorang yang terbiasa lembut dan agak
pemalu menjadi pemberani berapi-api atau yang lainnya.
Dakwah
pemikiran, mengharuskan kita untuk selalu berdiskusi dengan siapapun. Ya,
ketika ideologi itu sudah tetancap dalam diri akan ada dorongan untuk
menyebarkan dan menyampaikan. Apalagi bertemu atau bersentuhan langsung dengan
orang yang tak sepemikiran, mulut rasanya gatal kalau tidak berbicara dan
menyampaikan kebenaran.
Bisa
dibilang sudah dari sananya dalam hal penyampaian saya selalu menggebu-gebu dan
berapi-api. Hal ini bisa jadi positif dan negatif. Dengan gaya ini, ada yang
menerima dan merespon baik. Ada pula yang marah merasa tersinggung dan tak
puas. Hhh.. lagi-lagi manusia itu banyak macamnya. Tak puas ya sudah, lagian
bukan alat pemuas. Seperti yang Ust. Felix bilang “Kita tidak bisa
menyenangkan semua orang pada waktu yang sama, kita harus memilih menyenangkan
seseorang lalu mengecewakan yang lain”.
Semua
orang itu punya cara yang berbeda untuk mengungkapkan atau menyampaikan suatu
makna. Hal ini bisa tergantung dengan sifat dan sikap yang telah terbentuk dari
ia kecil hingga kini. Masalah retorika, Retorika yang hebat belum tentu bisa
diterima banyak orang. Karena masalah membuka hati, hanya Allah yang berhak.
Kita ini hanya menjadi jalan. Tapi tentu saja, tak menjadikan kita asal saja
dalam menyampaikan. Kita butuh strategi agar dakwah itu bisa diterima. Tak ada
yang disebut payah dalam beretorika. Ini hanya masalah penilaian manusia. Boleh
jadi orang yang biasa saja dalam menyampaikan atau bahkan bisa disebut
berantakan ternyata mampu meluluhkan hati seseorang. Hanya lagi-lagi kita ini
mesti belajar.
Sebenarnya bukan masalah retorika semata. Tapi
bagaimana kita bisa membaca sikap dan sifat seseorang ‘lawan’. Jikalah orang
yang kita hadapi itu memiliki baqa (Sistem pertahanan diri) yang tinggi, maka
ada baiknya kita harus lebih bersabar. Karena orang yang memiliki baqa tinggi
akan teguh sekali dengan argumentnya sekalipun argumentnya sudah terpatahkan
dengan logika. Tak jarang semakin lama berdiskusi nada bicaranya akan semakin
tinggi. Apa yang mesti kita
lakukan? Tak boleh sedikitpun
terpancing, masa kita mau main baqa-baqaan?. Hadapi dengan tenang, tak boleh
sedikitpun memotong pembicaraan ‘lawan’. Biarkan ia mengeluarkan pendapatnya
meski di ulang-ulang. Setelah ia puas dan baqanya tersalurkan, Giliran kita
mematahkan argumentnya dengan nada yang santai dan dengan logika sederhana.
Biasanya ini akan semakin membuat ‘lawan’ keki. Namanya baqa kalau disentil sedikit, ia
seperti kesetrum langsung muncul dengan
tegangan yang tinggi. Jika ‘lawan’ merasa pada posisi yang terkalah maka ia
akan terus membalas sampai ia merasa ada
dalam posisi ‘menang’. Baqa memang begitu dan kita harus sebentar mengalah.
Suasana diskusi yang seperti ini memang sedikit panas. Seperti saling bertarung
dan saling menghunuskan pedang. Ya. Beginilah tantangannya, harus sedikit
menekan rasa. Orang yang memiliki baqa tinggi, akan merasa sedikit tersinggung
dengan orang yang mengebu-gebu dalam menyampaikan. Karena merasa baqanya
dicabik-cabik padahal yang menyampaikan memang sudah terbiasa menggebu-gebu
dari sananya.
Ya,
kita ini memang mesti belajar untuk membaca karakter ‘lawan’ agar dakwah cepat
sampai padanya. Kita juga tak bisa memaksa materi yang kita punya dan sudah
dipelajari betahun-tahun lamanya, harus tumplek dalam beberapa menit saja. Mana
bisa, semua berproses. ‘Lawan bicara’
tak hanya melihat tentang materi yang kita sampaikan tapi juga cara kita menyampaikan. Marilah mencontoh pada
Rasulullah dan para sahabat yang mulia. Rasulullah yang sangat cerdas, pandai
mengambil hati siapa saja. Dengan keluhuran sikapnya, jauh sekali dari diri kita.
Maka kita juga belajar pada para sahabat yang lainnya. Rasulullah tak pernah
memaksa umar untuk menjadi Abu bakar atau pun sebaliknya. Umar adalah umar yang
selalu tegas dalam menyampaikan. Hanya lagi-lagi kita belajar untuk menjadi
karakter yang mana? Apakah seperi Abu bakar, Umar, Ustman yang pemalu, atau Ali
sang kunci ilmu atau siapa? Yang jelas tak ada munafik.
Tak
perlu ragu, jika kita melihat suatu kemungkaran maka sampaikan. Tentu dengan
niatan ikhlas lillahi ta’ala. Kita harus benar-benar memegang teguh sesuatu
yang kita yakini kebenarannya. Tak boleh membenarkan seseutu yang kita yakini
salah. Seburuk apapun retorika kita, sampaikan saja. Karena sungguh kita tak
pernah tahu kata-kata kita yang mana yang akan mengubah dan menginspirasi
seseorang. Seburuk apapun respon yang didapatkan, tak apa berlapang dadalah.
InsyaAllah kebenaran akan sampai padanya atau minimal ia akan berfikir ulang
tentang keyakinannya.
Ya,
hari ini kita belajar bahwa berdiskusi bukan hanya tentang retorika. Tapi
cerdas membaca dan menganalisa. Retorika bagus tapi miskin makna untuk apa?.
Yang baik adalah retorika bagus kaya makna dan dapat respon yang baik.
InsyaAllah menuju kesana. Semakin sering berdiskusi, kita akan semakin
terlatih. Terlatih untuk menjadi cerdas.
masya Allah jadi inget pengalaman berdiskusi di kampus, pertama kali bertemu kawan diskusi yg baqanya tinggi. dag dig dug jeer haha untung ada mba nunu yg meredakan intonasi kami -__-
BalasHapusnais posting :)
^_^ baqa-baqa.. harus benar-benar extra hati-hati.
Hapus