“Tiada hari yang lebih bercahaya di Madinah, daripada
hari ketika Rasulullah datang kepada kami. Dan tidak ada hari yang lebih gelap
dan muram daripada saat beliau wafat. ” Kata Anas ibn Malik
Hari itu, Rasulullah Kekasih Allah
telah tiada. Beliau telah menghembuskan
nafas terakhirnya. Semua orang menangis, sedih, kalut, tak percaya, dan semua
rasa bercampur aduk disana. Duhai Umar, beliau berteriak-teriak tak percaya.
Marah dan sedih bercampur rasa. Umar yang bertubuh besar itu mengancam “Sesungguhnya beberapa orang munafik
beranggapan bahwa Rasulullah meninggal dunia, Demi Allah, Rasulullah
pasti akan kembali! Maka tangan dan kaki siapapun yang mengatakan beliau telah
meninggal harus dipotong”. Umar masih saja berteriak-teriak sambil
menghunuskan pedangnya. Adalah Abu Bakar, beliau tenang bersahaja. Beliau
mellihat jenazah Rasulullah lalau berbisik “Allah
tidak akan menghimpun dua kematian bagimu. Kalau ini sudah ditetapkan, engkau
memang telah meninggal.”
Disaat semua
orang kalut dan bersedih maka Abu bakar adalah orang yang paling menenangkan.
Abu Bakar menjadi orang yang paling waras kala itu, “ Barangsiapa menyembah
Muhammad, maka sungguh Muhammad telah wafat tapi barangsiapa menyembah Allah,
sesungguhnya Allah hidup kekal”, katanya berwibawa. Lalu beliau
membacakan ayat Al-quran yang membuat umar pun jatuh tertunduk berhenti
berteriak dan menghunuskan pedangnya.
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia mati atau
terbunuh kalian akan berbalik ke belakang? Dan barangsiapa yang berbalik ke
belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun.
Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. 3 : 144)
Kala itu semua terisak, ayat yang dibacakan Abu Bakar telah membuat semua orang tersentuh dan tersadar. Seolah-olah mereka tak pernah mendengar
ayat itu, seolah-olah ayat itu baru saja turun. SubhanAllah, kebeningan hanya milik Abu Bakar.
Kisah tadi, saya kutip dan tulis ulang dengan
bahasa saya dari buku Dalam Dekapan Ukhuwah, Salim A. Fillah. SubhanaAllah
dengan gaya penyampaian sang penulis, mampu mengoyak-ngoyak perasaan kita.
Kalau boleh jujur, saya sampai nangis-nangis tiap kali membaca kisah tadi. Saya
pun semakin ngefans dengan Abu Bakar. Sebelum Kisah Rasulullah wafat, adapula
kisah Abu Bakar yang lainnya. Ya, hari itu semua orang bergembira karena telah
turun surat Al-nasr
“Apabila telah datang pertolongan dari Allah dan
kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan
berbondong – bondong.Maka bertasbilah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun
kepadaNya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.
Tapi apa yang terjadi dengan Abu
Bakar? Beliau Berteriak-berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Karena hanya Abu
Bakarlah yang mengerti dan memahami bahwa turunnya ayat ini adalah sebuah
isyarat bahwa tak lama lagi Rasulullah akan wafat. Tapi saat Rasulullah
benar-benar wafat, Abu Bakar menjadi orang yang paling waras dan menenangkan.
Lagi-lagi
pembukaan yang sangat panjang, kebiasaan nih terlalu melebarkan sayap.
Sepertinya tulisan ini akan sangat panjang. Mohon maaf pembaca, Topik hari ini bukanlah
soal Abu Bakar atau Umar. Tapi sesuatu tentang qiyadah.
Dari
kisah wafatnya Rasulullah tadi kita
belajar tentang qiyadah Insaniyah bahasa kolotnya figuritas. Ya, kita sangat mengetahui betapa mulianya Rasulullah
dengan semua keluhuran budi pekerti Rasulullah yang mulia semua
muslim begitu kagum dan cintanya kepada Rasul maka saat perpisahan itu hadir wajar sahabat kalut dan bersedih. Sampai-sampai Umar pun membuat
kegaduhan, berteriak-teriak tak karuan. Bukan, bukan berarti Umar kala itu
menggunakan qiyadah insyaniyah. Tapi saat itu, semua terlalu bersedih.
Alhamdulillah, ada Abu Bakar RA yang menenangkan. Bisa dibilang Abu Bakar selalu
mengggunakan qiyadah fikriyahnya, bahwa ia harus berfikir benar. Benar
Rasulullah telah wafat, maka beliau harus mengingatkan yang lain agar tak larut
dalam kesedihan atau sampai hilang akalnya.
Saat
Rasulullah wafat, tak sedikit yang murtad. Hal ini bisa terjadi karena qiyadah
fikriyahnya yang belum benar. (Dari tadi
qiyadah fikriyah , apa sih qiyadah fikriyah?) Qiyadah Fikriyah artinya
kepemimpinan berfikir. Jika seorang muslim sudah memiliki qiyadah fikriyah yang
benar yakni islam maka ia tak akan galau lagi dalam mengarungi kehidupan ini.
Tak hanya qiyadah fikriyah , setiap muslim harus memiliki qaidah fikriyah
(Landasan berfikir). Ibarat Kereta, maka qaidah fikriyah adalah rel kereta api
dan qiyadah fikriyah adalah masinis kereta. Layaknya kereta, maka haruslah
seoarang muslim memiliki kepemimpinan berfikir yang sesuai dengan landasannya.
Tak mungkin kan? kereta jalan di luar rel kereta. Untuk lebih mendalami,
silahkan membaca buku Nizham Islam.
Sebagai
penutup tulisan ini, saya akan
ceritakan dari mana saya dapatkan inspirasi ini. Saat hari-hari terakhir
Ramadhan, saya silaturahmi dengan guru ngaji yang dulunya tinggal di Sukabumi. Tapi
karena suatu hal guru saya harus pindah ke Kalimantan. Ternyata disana,
kehidupannya tak seindah di Sukabumi. Kebayang, kalimantan yang masih hutan
belantara, mau ke supermarket saja 2 jam lamanya, barang-barang, sayur mayur,
buah-buahan mahal harganya. Cuaca yang berbeda dengan Sukabumi yang dingin,
kalimantan panas luar biasa. Saat pergi mengajar maka tantangannya bukan murid
yang bandel tapi saat perjalanan harus melintas hutan. Tak jarang bertemu
biawak, ular dan binatang buas lainnya.
bagus bangeeeeeet! :) lanjutkan!
BalasHapusHahaaayyy... siap dek, Jazakillah ^0^
Hapus