Seorang kawan
tengah bercerita tentang dirinya. Hari itu, ia benar-benar sedang pusing dan
lelah. Ujian yang ia hadapi begitu menyesakkan dan menguras pikiran. Bisa atau
tidaknya ia tak yakin betul. Semua itu tak lepas dari kesalahannya tak
menyiapkan dengan matang. Ia menyadari hal itu. Sayang kesadarannya agak
terlambat, maka sesal lah yang ada. Ia terus memikirkannya, takut dengan
kenyataan yang akan ia dihadapi nanti. Besar
harapan ia untuk mendapatkan yang terbaik. Ada guratan kebingungan di wajahnya,
beribu prasangka menggelayut di benaknya. Ia berfikir dan terus berfikir.
Sebenarnya ia paham bahwa Allah telah menggariskan rezeki pada dirinya. Tapi ia
takut sekali jika nyata akan melukai perasaannya. Ia bertanya jawab dengan
dirinya sendiri.
Tak
ayal, belum juga ia menyelesaikan kegalauaannya itu. Ia ingat Ibunya. Ibu,
sosok yang selalu menenangkannya. Ia putuskan untuk menghubungi Ibu
tercintanya.
“Hallo, Bu..” suaranya getir
seperti menahan tangis.
“Ya , nak.” sapa Ibu, gembira.
“Bu.. pusing.” Keluhnya.
“kenapa pusing? Ujiankah?”. Tanya
ibu dengan lembut.
“Iya, tadi gak bisa. Karena menyiapkannya
kurang maksimal” katanya sambil meneteskan air mata.
“Gak apa-apa gak bisa yang
tadi, di buka bukunya aja sekarang kan
nanti jadi bisa” kata ibu menenangkan.
“Bu, ana seperti agak lama dalam
menangkap sesuatu, gimana mau sekolah lagi kalau begini” Keluhnya lagi.
“Hari belum bisa besok insyaAllah
bisa, tenang aja. Belajar dan berusaha lagi. Ambil pelajarannya saja,
berarti harus menyiapkannya lagi dengan
matang”
“Tapi bu.., ana pusing” katanya
yang masih berkutat dengan keresahannya.
“ Buka Matamu nak, lihat dunia. Jangan
berkutat pada dirimu sendiri” Ibu memulai seruannya. Ia masih terdiam
mendengarkan.
“Dunia membutuhkanmu, kau adalah
pejuang bukan? Ilmu mu sangat dibutuhkan untuk umat. Lihatlah mereka yang masih
terpuruk dalam kesesatan. Pejuang tak boleh cengeng, harus kuat mengahadapi
semuanya” kata Ibu berapi-api menyemangati anaknya.
“ Jangan risau dengan yang tadi
berusahalah untuk esok” Tutup Ibu.
Air matanya meleleh. Ia lupa
bahwa ia pejuang. Pejuang yang ingin menegakkan islam. Pejuang yang hanya berorientasi
kepada Allah saja. Adapun kesalahan yang ia perbuat, harus segera ia perbaiki. Dibanding
dengan masalah umat, ini adalah masalah individu yang kecil yang seharusnya
bisa ia selesaikan sendiri. Hanya menata hati, menjernihkan pikiran, dan
mengintropeksi diri. Harusnya itu saja. Namun,
seseorang pejuang pun adalah manusia biasa yang kadang khilaf dan salah.
Beruntung ia memiliki Ibu yang luar biasa, Ibu yang selalu menenangkan dan
paling memahami anaknya. Ibunya tahu anaknya adalah pejuang. Ia harus berbeda
dari orang kebanyakan. Tak boleh lembek dengan masalah receh dan remeh seperti
itu. Karena umat menunggu, menunggu anaknya untuk menjadi sebaik-baiknya orang.
Kini , ia
menyadari bahwa jika seseorang sudah terbiasa menyelesaikan masalah yang besar
maka ia tak akan canggung lagi untuk menyelesaikan masalah yang kecil.
Keluarlah dari kotak masalahmu, lihatlah masalah yang lebih besar disana bukan
hanya berkutat pada masalah individu dan perasaan saja. Masalah umat yang
menjadi korban akibat kebengisan sistem sekular, itulah masalah terbesar saat
ini. Tak hanya umat, ia pun juga menjadi bagian dari korban. Sehingga,
pemikirannya hampir terpengaruh dengan standar kemanfaatan yang tidak jelas. Bukan nilai
yang kita cari melainkan ilmu bermanfaat. Bukan, bukan mengejar bisa saja, tapi
mengejar paham dan mengerti.
Maka, mari kita berpikir lagi
kawan.
Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar
ayo, kasih komentar..