Keluar-ga

Berkumpul dengan keluarga adalah sesuatu hal yang membahagiakan.  Ingin selalu bersama keluarga adalah manifestasi dari garizah na’u.  Siapa yang tidak senang bercengkarama lama dengan Ayah, Ibu, adik, kakak dan saudara-saudara? Hampir semua senang dan merasa bahagia, ya memang sudah fitrahnya. Allah memberikan rasa itu pada tiap diri kita.

Jauh dari keluarga adalah sesuatu yang sangat berat bagi yang tidak terbiasa. Bayangkan, yang awalnya setiap harinya bertemu,  berceloteh, bercanda, tertawa, dan lain-lain harus terhenti karena pergi merantau jauh dari rumah. Sebenarnya masih bisa telepon dan internetan, tapi tetap saja jika tak bertatap muka langsung tak 100 % bisa melepas kerinduan. Apalagi dengan Ibu tercinta, dunia terasa berubah saat harus jauh dengan Ibu. Tapi inilah hidup, kapan kita akan menjadi dewasa jika masih tergantung pada orangtua.

Merantau jauh dan menjadi pengemban dakwah mengharuskan seseorang untuk memberikan pengorbanannnya. Terkadang kita harus merelakan tidak liburan pulang kampung karena masih ada amanah. hmm..Saya sangat kagum, dengan orang yang rela tak pulang bahkan saat lebaran, ia berkorban untuk menjalankan amanah. Semoga Allah memberi kekuatan dan keikhlasan bagi mereka yang demikian. Pasti sangat berat bukan? Pengorbanaan-pengorbanan.  Bisa saja, sebenarnya kita menuruti naluri kita dan meninggalkan amanah begitu saja. Tapi apakah itu benar? Semua pilihan ada ditangan kita,  teringat firman Allah :

Katakanlah : “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiaanya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya” Dan Allah tidak memberi pentunjuk kepada orang-orang fasik. (QS. At-taubah : 24)

Kita cinta keluarga, bukan berarti harus selalu bersama. Bertemunya kita dengan keluarga bukan terletak pada lamanya atau sekedar kuantitas hitungan hari. Tapi dari kualitas pertemuan kita, apa yang  dibicarakan dengan keluarga. Apakah hanya sekedar bercanda tidak jelas, sebaiknya tidak. Haruslah kita menjadikan pertemuan dengan keluarga adalah sesuatu yang istimewa dan pembicaraanya juga harus istimewa. Kita tak mau bukan? Kita berkoaar-koar di luar tapi keluarga kita tak tahu apa-apa. Dakwah keluarga, dimulai dengan mengganti topik pembicaraan dengan sesuatu yang berbeda berhubungan dengan dakwah kita. Setiap dari diri kita mestilah memiliki targetan untuk memahamkan keluarga kita tentang apa yang kita perjuangkan. Memang berat, karena kadang kita terpancing baqa.  Keluarga mungkin adalah orang yang paling mengetahui aslinya diri kita, sehingga kadang ada juga yang menyepelekan bilang “alah.. soklah” atau apapun. Tapi teruslah dicoba, usahakan jangan pakai Baqa. Semua proses, nikmati saja. Yang namanya ideologi tabi’atnya adalah disebarkan. Maka, mau tak mau harus disebarkan pada siapapun sekalipun pada keluarga. InsyaAllah akan ada perubahan. Selain berusaha, selalu do’akan keluarga kita kapanpun dimana pun.

Penting  juga, kita menceritakan aktivitas kita kepada keluarga. Bahwa semua yang kita lakukan hari ini, semata-mata untuk menjadi anak yang soleh/solihat yang menjadi kunci pintu syurga bagi orangtua dan juga keluarga. Karena kita mencintai keluarga dengan cara yang berbeda yang tak kebanyakan orang pilih. Kita adalah generasi ghuraba yang dikabarkan oleh Rasulullah sebagai orang yang beruntung, insyaAllah. Mengambil jalan yang tak kebanyakan orang pilih.

Bercerita tentang keluarga memang tak ada habisnya.  Saya akan berbagi tentang sepotong cerita, semoga menginspirasi. Pernah suatu ketika, saat saya pulang ke rumah dan kami sekelurga bercengkrama bersama. Tak tahu siapa yang memulai, tapi semua mengalir begitu saja. Biasa saya bercerita tentang kampus dan embel-embelnya. Entah awalnya  dari mana sehingga kami bisa bercerita tentang siapa  diantara 7 bersaudara yang akan kaya duluan, naik haji-in ibu duluan, punya rumah yang gede, punya mobil dan lain-lain. Dan  kami berebut melontarkan kata-kata siapa yang sukses duluan. Tak ingat sih, ibu berkomentar apa. Mungkin ibu merasa sangat senang karena anak-anaknya sedang akur dan bercerita tentang masa depan. Hal inilah yang membuat saya lega,  karena kami punya cita-cita untuk membahagiakan keluarga. Ya, semoga saja, hal ini tak terhenti hanya untuk dunia. Karena yang terpenting adalah berkumpul bersama di syurga nanti. Sehingga penting, memberi pemahaman pada keluarga tentang makna cinta keluarga sesungguhnya.

Semoga saja keluarga bisa terketuk hatinya, Allah yang Maha membolak-balikan hati. InsyaAllah dengan do’a dan usaha, semua anggota keluarga menjadi pejuang syariah dan Khilafah yang istiqomah, sehingga kita semua bisa merasakan hidup dibawah naungan khilafah yang menyejahterakan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Ingin Memeluk Tuhan

'Mobil Syetan' Sang Raja Jalanan

Dari Aktuaria Sampai Teori Darwin