SIM TANPA SUAP
Bagi pengendara motor, agar nyaman, tentram dan
damai berkendara mestilah memiliki sepucuk surat. Tapi ini bukan surat biasa yang bisa kita tulis sendiri
melainkan surat izin mengemudi alias SIM. Bentuknya bukan selembar kertas, tapi
seperti KTP berbentuk kartu. Kita akan bisa memilikinya, jika sudah cukup umur
minimal 17 tahun dan sudah mengikuti serangkaian tes di kepolisian.
Jika kita tidak memilikinya, apa yang terjadi? Hati
bakal dag-dig-dug berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang tiap kali lihat bapak Polisi, bahkan
radius 5 meter saja mesti langsung ngacir, mencari akal untuk menghindar dan nyalip sana sini. Baru lihat saja ya, belum lagi jika sedang ada
operasi pemeriksaan oh jangan tanya , akan lebih deg-degan lagi bahkan tangan
yang memegang stang motor sudah basah karena keringat bercucuran, dan kaki
gemetaran. Kalau sedang beruntung bisa berbelok dan mencari jalan lain dan
kalau tak sempat berbelok karena mata sudah ketemu mata, dan tangan sudah
memberi isyarat maka sudahlah surat tilang melayang, harus mengikuti sidang dan membayar denda
paling banyak lima ratus ribu rupiah untuk pelanggaran tak punya SIM.
Apa yang menghalangi pengendara motor untuk
memiliki SIM? Mungkin karena serangkaian tes yang sulit dan jika gagal harus
kembali 1 minggu kemudian untuk mengikuti tes lagi. Dan selentingan katanya,
ini katanya ya, agar bisa langsung lulus
hari itu juga alias tidak dengan jalan
normal membutuhkan dana yang tidak
sedikit. kalau jalan normal hanya 100 rb.
Karena isu-isu itulah juga, saya tidak pernah mencoba membuat SIM, saya
tidak mau menyuap. Padahal hampir 10 tahun sejak SMP kelas 3 saya sudah bisa
motor dan lihai mengendarai motor, jenis motor apapun saya bisa kecuali motor
vespa. Saya juga sudah melanglang buana pergi ke luar kota yaitu Bogor dan
terjauh Bandung tanpa SIM. Strategi pergi subuh pulang malam, adalah strategi terbaik
agar tak kena tilang. Artinya, kemampuan saya mengendarai motor sudah bisa
bilang teruji. Meski demikian saya tetap bertahan tanpa SIM, dan bertahan
dengan ketakutan parno liat bapak polisi
sampai satpam saja dari jauh saya kira polisi tapi tetap berani mengendarai
motor.
Sampai akhirnya, saat perjalanan pulang dari
Bandung ada razian di Cianjur, saya tak bisa menghindar, ini sudah skak mat.
Sambil gemetaran saya tatap bapak polisi muda itu, bapak itu menyapa dan
bertanya tentang STNK dan SIM, saya jawab bahwa saya lupa tidak membawa dompet
dan memang tidak bawa dompet, ini bukan senjata berkilah beneran tidak bawa karena lupa. Maka sang pak polisi muda baik hati
melepaskan saya dan adik saya, setelah melihat KTP adik saya pak polisi bilang
bahwa karena rumah kami jauh jadi memaafkan keteledoran kami. Kalau sampai
motor saya diambil tidak tahulah bagaimana saya pulang, Alhamdulillah saya
berterimakasih dan melanjutkan perjalanan pulang.
Hal itulah salah satu kejadian yang mendorong
saya membuat SIM, saya bertekad membuat SIM dengan jalan normal. Saya tidak mau
menyuap, saya takut dosa suap menyuap, dan saya sebal dengan suap menyuap.
Malam itu, saya belajar untuk tes SIM
dan mengerjakan banyak soal. Saya genapkan ikhtiar, sebab musabab agar SIM itu
bisa saya dapatkan. Saat saya mengerjakan soal saya ber-oh-oh-ria ternyata ada
beberapa garis yang tidak boleh dilewati , belajar mengetahui rambu-rambu lalu
lintas yang benar yang selama ini mungkin saya langgar.
Hari itu tiba, karena rumah saya di kabupaten
saya harus melalukan perjalanan hampir selama 2 jam untuk bisa tes membuat SIM,
terpusat harus disana semua. Tekad saya bulat, seberapa jauh pun saya akan tempuh,
saya mengendarai motor dengan adik saya. Sesampai disana hanya dibutuhkan KTP
dan surat tanda sehat dari klinik dekat kantor polisi tersebut. Kantornya
memiliki lapangan yang luas, tempat tes praktik motor dan mobil. Terdapat pula,
papan pengumuman yang besar informasi tentang tarif tes SIM, informasi alur
test SIM dan sebagainya. Oh ya terdengar juga suara pengumuman, suaranya
kencang sekali dan terus diputar ulang, salah satu yang terus disampaikan
adalah tidak boleh suap menyuap. Agak sedikit lega, semoga saja saya lulus.
Saya dan adik saya pergi ke sebuah lapangan
tempat tes praktik, jika tes praktik lulus bisa langsung tes teori didalam
kantor. Ada sekitar 30 orang disana yang sama-sama mau tes, kebanyakan
laki-laki mulai dari bapak-bapak sampai pemuda, beberapa juga ada ibu-ibu dan
pemudi. Matahari sedang terik-teriknya, panas sekali, dan kami mengantre tes.
Sebelum tes, bapak polisi mempraktikan tesnya, lihai sekali polisi mengendarai
motor matic dan kupling melintasi jalur tes. Ada jalan lurus kecil, tikungan
tajam, jalan zig-zag, dan jalan berangka delapan. Jika semua jalan ini dilewati
dengan mulus, tanpa menurunkan kaki berarti kita lulus.
Motor yang digunakan harus motor polisi tidak
boleh motor sendiri. Satu per satu peserta memulai tes, laki-laki harus pakai
kupling dan perempuan boleh pakai matic. Satu per satu peserta juga gagal,
kebanyakan gagal karena kakinya turun saat berbelok, mungkin reflex dari pada
jatuh ya kaki turun saja, ada juga yang gagal karena mesin motor mati, ini
terjadi karena tidak terbiasa menggunakan kupling. Saya agak heran sebenarnya,
pak polisi bilang tidak boleh pakai kupling saat berbelok, mana bisa berbelok
tidak memegang kupling pasti matilah mesinnya. Hampir semua peserta sudah
melakasankan tes dan semua berakhir dengan suara peluit polisi tanda kegagalan.
Saya dan adik saya semakin deg-deg-an saya terus komat kamit berdo’a, resah dan
gelisah sekali, saya berdo’a Ya Allah mau SIM tapi murni ya Allah tolonglah.
Adik saya sama ketakutannya, tapi dia punya ide bagus. Dia bilang di papan
pengumuman itu tertulis boleh latihan mengendarai motornya dulu. Adik saya
memaksa saya ayo kita bilang minta izin pada pak polisi. Saya takut sekali
tidak berani bilang, adik saya nekad meminta izin dan ternyata bisa. Wah saya
kagum dengan keberanian adik saya.
Kami berdua adalah peserta terakhir dan puluhan
peserta yang sudah fix gagal. Akhirnya kami latihan dulu, mengendarai motor itu
kami gantian pakai yang matic dan kupling. Pantas saja semua orang gagal,
motornya juga tidak dalam keadaan baik, remnya aneh, kuplingnya juga aneh. Saya
mulai beradapatasi, latihan menyusuri arena tes, yang paling susah memang jalan
zig zag, beberapa kali kaki saya turun. Jalan angka 8 tidak terlalu susah
seperti yang dibilang orang-orang, agak mudah daripada jalan zigzag. Prittt
suara peluit polisi, tanda tes akan dimulai dan latihan harus diselesaikan.
Adik saya memulai tes duluan, ternyata adik saya gagal, saya sedih bukan
kepalang. Lalu saya mulai tesnya, sambil saya berdzikir kepada Allah. Adik saya
berteriak menyemangati. Semua jalan tes itu saya lalui dengan mulus tanpa kaki
saya turun. Saya lulus tes praktik, bahagia sekali saya bersuka ria dengan adik
saya.
Pak polisi memanggil saya, menyampaikan tes
ulang. Saya mengerutkan dahi hendak protes kan saya sudah lulus. Pak polisi
bilang, tidak apa apa tes sekali lagi sambil direkam kamera HP. Yampun saya
tepok jidat untuk apa ini, kebutuhan sosmed ternyata. Akhirnya tes lagi, pak
polisi tidak lagi berada di tenda, tapi memandu saya dalam tes. Dalam hati saya
bilang “Oh ini tes yang benar”. Saya lolos lagi, dan saya diminta untuk testimoni.
Greget saya bilang harusnya polisi itu bisa jadi sahabat rakyat , bisa jadi
banyak yang gagal karena degdegan tak kuat mental, coba pak polisi menyemangati
peserta ayo pak bu kalian pasti bisa, bukan prrrrit lalu gagal , gagal , dan
gagal, semua jadi bermainset pasti gagal. Tapi itu semua tidak terucap, malah
yang terucap, semua orang bisa mendapatkan sim kalau semua latihan dulu adaptasi
dulu begitu saja. Video rekaman saya tes mungkin ada di youtube ya. Hehe.
Lanjut tes kedua, tes teori. Saya gagal karena
soalnya berbeda bukan tes tulis pakai kertas, tapi audio visual tes benar dan
salah memencet tombol saja. Saya sedih bukan main, karena gagal tes tulis. Saya
liat orang-orang yang gagal praktikum ada di ruangan itu dan sedang memproses
SIM padahal gagal ya. Saya tetap bertekad murni, dan akan kembali minggu depan.
Singkat cerita, saya kembali minggu depannya dengan 4 jam perjalanan bolak
balik untuk tes tulis, tentunya malamnya saya belajar dulu. Alhamdulillah skor
saya pas untuk lulus, resepsionis mengatakan “ wah hebat lulus praktik dengan
murni, jarang loh yang bisa”, hehe saya bangga sekali. Cisss lalu saya berfoto
dan saya dapatkan SIM itu murni tanpa suap.
Setelah mendapatkan SIM, saya tidak takut-takut
lagi dengan polisi. Kini saya semakin Pede mengendarai motor. Banyak pelajaran
yang bisa diambil, sekali kita punya tekad berazam, lalu bertawakal kepada
Allah maka bisa kita capai! Saya mau SIM
, saya tidak mau suap, Alhamdulillah bisa. Semoga bermanfaat!
Komentar
Posting Komentar
ayo, kasih komentar..